Amal makruf nahi mungkar di Acheh, Indonesia





Wilayatul Hisbah (WH) adalah institusi pemerintahan baru yang diperkenalkan di Aceh. Di masa kesultanan Aceh, belum ada dibentuk sebuah lembaga khusus untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Mahkamah hukum era kesultanan sudah memadai dilakukan oleh para ulama, imum gampong, geusyik, dan para ureng tuha yang disegani, apalagi pada masa itu, rakyat Aceh punya kesadaran religius yang tinggi, sehingga keberadaan sebuah institusi pemerintahan yang tugasnya cuma memantau pelaksanaan syari’at belum dirasa perlu. Setiap individu dengan kesadaran masing-masing menjadi petugas WH, menegur dan mengingatkan saudaranya sekiranya mereka melakukan perkara yang bertentangan syari’at dan selalu mengajak saudaranya melakukan perbuatan-perbuatan ma’ruf yang dianjurkan syari’at.

Namun demikian, pada saat ini, seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman dirasa perlu sebuah institusi khusus yang tugasnya mengawasi pelaksanaan syari’at, apalagi saat ini Aceh telah secara resmi bermaksud melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. WH yang merupakan institusi klasik dirasakan signifikan kehadirannya di era kontemporer.

Sejarah Wilayatul Hisbah
Institusi WH sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung pondasinya oleh Rasulullah saw, beliaulah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Sering kali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktivitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkan gandum yang kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, “barangsiapa yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami.” Rasulullah setiap hari memantau pelaksanaan syari’at oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggaran yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk memperbaikinya.

Wilayatul Hisbah (WH) adalah departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah negara Islam. Tugas utamanya adalah melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Istilah wilayah, menurut Ibnu Taimiyyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah, bermakna “wewenang” dan “kekuasaan” yang dimiliki oleh institusi pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Sementara kata hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan.

Pelembagaan WH dengan struktur yang lebih sempurna dimulai pada masa Umar bin Khattab. Umar ketika itu melantik dan menetapkan bahwa wilayatul hisbah adalah departemen pemerintahan yang resmi. Tradisi ini dilanjutkan oleh dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Usmany sampai akhirnya WH menjadi lembaga yang mesti ada dalam setiap negara muslim. Pada masa kejayaan Islam di Andalusia, institusi pengawas syariat disebut dengan mustasaf, sekarang di kalangan masyarakat Spanyol dikenal dengan al-motacen. Setelah dinasti Turki Usmani runtuh, sulit dilacak negara Muslim yang masih mempraktikkan WH, seiring dengan dikuasainya negara-negara muslim oleh kolonialisme, institusi ke-Islaman yang sebenarnya sudah mapan ini lambat laun hilang bersamaan dengan hilangnya berbagai institusi Islam lainnya.

Literatur tentang wilayatul hisbah sangat banyak dan tersebar dalam berbagai kitab Fiqh. Para Ulama awal Islam telah meletakkan landasan teoritis dan menjelaskan dengan rinci tugas, wewenang, bentuk dan perangkat Institusi Hisbah sebagai manual pelaksanaan lembaga ini. Kajian tentang WH biasanya dimasukkan dalam bab al-qadha’ (peradilan). Namun ada juga ulama seperti Imam al-Mawardi yang membahas WH dalam bab tersendiri secara detail dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Bahkan Ibnu Taimiyyah--karena menganggap begitu pentingnya institusi ini-- menyusun sebuah risalah khusus landasan teori dan operasional WH dalam kitab al-Hisbah fi al-Islam.

Dalam sejarah Islam, hirarki struktural WH berada di bawah lembaga peradilan. Wilayatul Hisbah bersama dengan Wilayatul Qadha dan Wilayatul Madzalim berada dibawah Qadhi al-Qudhah (Hakim Agung). Ketiga institusi tersebut mempunyai peran yang sama yaitu sebagai lembaga peradilan yang memutuskan sengketa dan memberikan hukuman, tetapi ketiganya mempunyai perbedaan dalam hal cakupan tugas serta wewenang. Wilayatul qadha adalah lembaga peradilan umum seperti dikenal sekarang, wilayatul madzalim adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menangani kasus kesewenang-wenangan dan kezaliman pejabat pemerintah, sedangkan wilayatul hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi pelaksanaan syari’at Islam dan amar ma’ruf nahi mungkar secara umum.

Tugas dan wewenang WH
Imam Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; WH mempunyai tugas melaksanakan Amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. WH mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas muhtasib (petugas WH) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain.

WH memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar makruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor.

Namun demikian WH hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang WH, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul mazalim. Untuk Aceh, WH juga bertugas mengawasi qanun-qanun yang berkaitan dengan syariat Islam yang telah ditetapkan.

Di samping mengawasi, WH juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan WH juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan. Muhtasib boleh membakar VCD porno, menyita barang yang ditimbun oleh pedagang sehingga menyengsarakan masyarakat lalu membagi-bagikannya kepada orang miskin, mengancam pencemaran nama baik, memasukkan ke penjara, sampai kepada mengarak si pelanggar keliling kota dan menggantungi tulisan “saya telah melanggar syariat dan tidak akan mengulanginya lagi”.

Tentu ketika menjatuhi hukuman WH harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang betul-betul melanggar syari’at (dzahara fi’luhu), atau tampak jelas seseorang meninggalkan perkara syari’at (dzahara tarkuhu). Karena itu WH tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka WH saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari’at mengganggu kebebesan privasi mereka.

Sebab itulah, untuk tahap awal yang paling penting dilakukan sebenarnya adalah menumbuhkan kesadaran yang sempurna di kalangan masyarakat, baik dengan ceramah ataupun yang lebih bagus tingkah laku kongkrit para penguasa yang akan menjadi contoh rakyat. Petugas Hisbah yang menjalankan tugas amar makruf nahi mungkar wajib menjadikan dirinya orang yang pertama melakukan perkara-perkara ma’ruf dan orang yang pertama meninggalkan perkara-perkara yang mungkar.

Dengan dibentuknya WH di Aceh, maka setidaknya Aceh adalah negeri keempat di dunia Islam yang membentuk sebuah lembaga pemerintahan dengan tugas utama mengawasi pelaksanaan Syariat Islam. Ketiga negara lainnya adalah Terengganu-Malaysia, Arab Saudi berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Arab Saudi tanggal 3 september 1396H, dan Maroko dengan UU Nomor 22 tahun 1982.

Pengalaman Aceh
Aceh menjadi daerah yang unik dengan membentuk dan mengembangkan kembali institusi keIslaman yang nyaris punah ini. Untuk Aceh, hirarki struktural WH berada di bawah Dinas Syariat Islam. Tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh masyarakat. Posisinya sebagai “jantung” dalam Dinas Syariat Islam sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas ini menegakkan syariat. Untuk itu landasan hukum tersendiri yang jelas yang mengatur tugas dan wewenang institusi hisbah sangat diperlukan di samping tekad yang kuat dari petugas WH menegakkan syariat.

Landasan hukum tersebut perlu juga mengatur bagaimana memilih dan mengangkat anggota WH. Sepatutnya orang yang menduduki jabatan WH bukanlah orang sembarangan, ia mestilah orang yang terkenal baik dan saleh, tidak berperangai buruk, mengetahui hukum-hukum Islam, berintegrasi dan professional. Kalau kita merujuk kitab-kitab lama yang membahas WH, maka kita akan dapati ulama-ulama terkenal menduduki jabatan ini. Kesalahan dalam melantik petugas WH akan menimbulkan kemarahan masyarakat yang berujung pada penentangan eksistensi institusi ini secara keseluruhan.

Pembentukan institusi ini sebenarnya adalah sangat positif dan perlu dukungan padu semua pihak. Terutama ketika budaya amar ma’ruf nahi mungkar semakin hilang di kalangan masyarakat. Kunci kesuksesan WH nantinya akan terlihat ketika masyarakat dengan kesadaran keagamaan yang tinggi terwujud, yaitu masyarakat dengan standar moral yang tinggi, keunggulan akhlak, dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan atau dilarang oleh syari'at. Tetapi, ketika maksiat kembali merajalela, perbuatan amoral merebak, masyarakat berlaku curang, menipu, dan memakan riba dalam berdagang, maka jelas, WH tidak berperan dengan sempurna. WH, juga aparat pemerintah lainnya telah gagal menumbuhkan kesadaran melaksanakan syari’at. (HaF)

Oleh: Hafas Furqani | Alumni Fak. Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang sedang menempuh Ph.D of Economics International Islamic University Malaysia.

Sumber : Aceh Institute-www.acehinstitute.org




So, what do u think of this? Hurmmm.. from my sight, I think it is really2 good. Instead, it'll be much better kalau Malaysia pun buat macam ni. Tapi, bila??? Can any one answer that question?

Kat Malaysia skang pun dah ada HTM. HTM ni menyampaikan dakwah tak kira tempat dan masa. Untuk Menegakkan khilafah Islamiyah. Tu yang paling utama. A person ever said to me, he'll choose to live in Indonesia instead of Malaysia. Sebab kat Malaysia ni, nak tegakkan hukum Allah cukup susah. Budaya pun dah bermacam2. Indonesia adalah sebuah negara yang berpotensi untuk penegakan khilafah Islamiyah. Majoriti penduduknya adalah beragama Islam, iaitu sebanyak 88%(2009), walaupun negaranya bukanlah sebuah negara Islam.

Berbeza dengan Malaysia yang berstatus negara Islam, tapi......boleh difikir sendiri lah ayat selepasnya tu.

KOrang ada baca Metro hari ni (2 januari 2010)?? Dalam Metro hari ni ada cerita pasal WH ni. Bila saya baca, saya kagum. Dorang dapat buat macam tu. Tapi kita? Saya rasa, Jabatan Agama Islam pun xmamou buat macam tu. Dat's my opinion. Ya lahhh..operasi yang ditumpu juz pada kes khalwat lah, arak lah, judi lah, pelacuran lah, n watsoever. Tapi hal2 lain yang dipandang remeh tapi berat tu? Contoh macam wanita Islam yang dedahkan aurat di khalayak ramai, pakaian macam tak cukup kain, pergaulan bebas rijaal dan nisa. Bagi saya, WH ni boleh dijadikan contoh untuk Malaysia. Itulah yang terbaik. Daripada gadoh2 nak rebut kuasa, tuduh orang tu orang ni, baik lah lawan untuk tegakkan hukum Allah kat muka bumi ni. Insya Allah, kalau tak selamat hidup dunia pun, di akhirat dah dapat jaminan Allah untuk dapat kebahagiaan. Jihad tuuu...besar pahalanya tau!

Hurmmmm dah lama saya x contact Kak Hajar. Agaknya dia fikir saya dah xnak belajar. Bukan xnak..tapi masa terhad sangat. Masa sem 5 aritu sibuk dengan nak pulun study, nak maintain cgpa. Sem 6 dah praktikal. JAuh dari Kak Hajar. Tapi saya tau, area bangi ni HT lagi aktif. Bila2 masa saya bleh p Surau A-Islah tu kalau ada apa2 aktiviti. Cuma komitmen tu kena tinggi. Tu yang susah. Saya takut tak dapat nak seimbangkan. Tapi Insya Allah, kalau ada kelapangan, mohon Allah pemudahkan jalan saya untuk menuntut ilmu dengan dorang. Banyak g yang nak kena belajaq.

So, tu saja lah.

0 comments:

Leave a Comment

Back to Home Back to Top Cahaya Pelindung. Converted Blogger Templates by pure-essence.net. Bloggerized by Chica Blogger.